Minggu, Maret 01, 2009

"Illegal Logging", Penyebab dan Dampaknya

Upaya menjustifikasi kegiatan penebangan liar, sebagai sebuah usaha yang mudah untuk memperoleh uang dan menghubungkannya dengan krisis moneter, merupakan jawaban yang tidak menyelesaikan masalah, tetapi menambah kekisruhan di sektor itu sendiri.

Sejumlah persoalan timbul ketika penggunaan terminologi "ilegal" dan "legal" dalam setiap kasus yang bernuansa legalistis. Kadar dan standar formal begitu kental dalam mengidentifikasi kasus penebangan liar ini. Semua pihak mafhum bahwa ketika pengaplikasian kata yang berbau legalistis diterapkan, pilar hukum yang dibakukan dengan sendirinya akan menafikan realitas yang ada; yang tidak dikategorikan dalam bingkai hukum formal.

Konsekuensinya, pertarungan antara yang bersifat "de jure" dan "de facto" menjadi semakin mengkristal. Dengan demikian, apabila kita mempergunakan jalur berpikir ini, akan timbul pertanyaan: siapa yang dikategorikan sebagai pelaku legal dan ilegal dalam kasus penebangan liar ini. Penebangan liar "…occur right through the chain from source to costumer, from illegal extraction, illegal transport and processing through to illegal export and sale, where timber is often laundered before entering the legal market". Rujukan hukum ini serta merta menerpa para pelaku, terutama masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, yang hidupnya sangat bergantung dari hasil-hasil hutan (kayu dan non-kayu). Kelompok marjinal akan selalu menjadi kambing hitam dan sasaran penindakan dalam setiap kasus penebangan liar.

Maraknya praktik penebangan liar mendorong berbagai badan nasional (LSM) dan internasional (antara lain CGI) mengkritisi upaya penanganan kasus ini. Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.

Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan (legal). Akibat dari ketimpangan antara persediaan dan permintaan, ikut mendorong penebangan liar di taman nasional dan hutan konservasi. Kondisi ini diperparah lagi dengan tumbuhnya industri kayu tanpa izin dekat lokasi penebangan dan penimbunan kayu (log ground); di mana transaksi jual beli kayu tanpa dokumen berlangsung. Padahal, perangkat hukum seperti KUHP Pasal 50 dan Pasal 178 dan UU Nomor 41 Tahun 1999 cukup efektif untuk menjerat para pemilik, penyimpan, dan pembeli kayu tanpa dokumen, dengan sanksi Rp 5 miliar atau dipenjarakan selama 10 tahun. Praktik KKN di sektor kehutanan membuat peta penyelesaian penebangan liar makin semrawut.

Tingginya produksi kayu gelondongan (log) dari 41 hingga 56 juta meter kubik pada tahun 1998, salah satu penyebabnya adalah bermunculannya kayu dari hasil penebangan liar, yang diperkirakan berjumlah 70 persen. Kasus penebangan liar di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, meresahkan, sebab fauna dan flora yang sangat dilindungi di kawasan hutan dataran rendah ini akan ikut musnah. Kehancuran hutan sebab penebangan liar terjadi juga di Taman Nasional Leuser, Taman Nasional Kerinci-Seblat, dan Taman Nasional Gunung Palung. Dampaknya (juga perusakan hutan dengan cara lainnya) adalah: musnahnya berbagai fauna dan flora, erosi, konflik di kalangan masyarakat, devaluasi harga kayu, hilangnya mata pencaharian, banjir dan rendahnya pendapatan negara dan daerah dari sektor kehutanan, kecuali pemasukan dari pelelangan atas kayu "sitaan" dan kayu "temuan" oleh pihak terkait. Hingga tahun 2002, setiap tahun negara dirugikan Rp 30,42 triliun dari penebangan liar dan sekitar 50 persen terkait dengan penyelundupan kayu ke luar negeri.

Selama ini, praktik penebangan liar dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, di mana pihak penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu. Untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk menjerat mereka dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Kepemilikan kayu "tak berdokumen" di log ground sepanjang aliran sungai, tempat penimbunan sampai ke penggergajian, sulit dilacak sebab rumitnya jaringan serta ketidakmampuan aparat untuk menindak para pelaku. Apabila pemerintah saat ini tak berdaya, fokus kajian terhadap praktik penebangan liar perlu dicari dalam setiap regulasi pusat dan daerah. Sejak kebijakan otonomi daerah (Otda) diberlakukan tahun 2001, khususnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, setiap daerah melirik pada potensi daerah bernilai ekonomis yang tersedia. Eksploitasi eksesif terhadap sumber daya alam yang tersisa; mendorong dikeluarkannya regulasi yang kadang kala tumpang tindih antara pusat dan daerah. Pemerintah pusat, di satu sisi, tetap mempertahankan kendali atas hak (izin) pengelolaan hutan. Bersamaan dengan itu, pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah (perda) untuk kepentingan daerahnya. Kontroversi penyusunan regulasi serupa juga terjadi antara kebijakan provinsi dan kabupaten.

Tumpang tindih regulasi sebab kebutuhan dan disparitas interpretasi telah ikut mendorong eksploitasi sumber daya alam termasuk sektor kehutanan. Tekanan hidup terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan mendorong mereka untuk menebang kayu baik untuk kebutuhan sendiri atau untuk kebutuhan pasar melalui tangan para pemodal. Permainan dokumen, lazim disebut "dokumen terbang", untuk melegalkan status kayu ilegal dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor sulitnya memberantas kegiatan penebangan liar. Oleh sebab jaringan penyelundupan dan penjualan kayu ilegal juga marak ke luar negeri (Inggris, Singapura, Malaysia, dan Cina), maka kerja sama dengan 12 negara asing perlu ditingkatkan.

Kebijakan moratorium yang pernah dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan adalah terapi sesaat dan tidak selalu menolong industri perkayuan; bahkan akan membuat stagnan kegiatan industri kayu serta menurunnya pendapatan negara dari sektor kehutanan. Penebangan liar tidak cukup diminimalkan dengan imbauan dan surat keputusan. Mata rantai panjang mulai dari penataan tata ruang, tata wilayah dan penggunaan lahan, program pemberdayaan masyarakat, jaminan bagi hak-hak hidup dan berusaha untuk masyarakat (adat). Kerja sama multilateral dengan lembaga swadaya masyarakat, aparat keamanan, polisi hutan, pemerintah, dan masyarakat (adat) adalah salah satu cara terbaik untuk meminimalkan praktik penebangan liar.

John Haba Peneliti PMB-LIPI, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar